Home » » Al-Qur'an

Al-Qur'an

Written By Agus Prasetyo on Senin, 28 Mei 2012 | 22.27

Kata pengantar

Assalamu’alaikum Wr.Wb
 Puji Syukur kita  panjatkan atas kehadirat Allah Swt, Dimana berkat Rahmat, Hidayah, Karuniyah serta Nikmat-Nya sehingga pada saat ini kami dapat menyelesaikan  pembuatan makalh Fiqh yang berjudul tentang jual beli.
Dan tidak bosan-bosannya Shalawat beriring salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad Saw, dimana berkat perjuangan beliau kita dapat merasakan indahnya dunia yang penuh dengan ilmu-ilmu islam seperti yang kita rasakan pada saat ini.
Atas selesainya pembuatan makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing dan dosen mata kuliyah bapak Rudi Hadi Suwarno,S.HI. serta dari para teman-teman seperjuangan atas bantuan dan dukungannya. Besar harapan kami para pembaca dapat memahami materi-materi yang terkandung  di dalam makalah ini.
Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan maka dari itu  kami jmengharapkan kritik serta saran yang sifatnya membangun dari para pembaca,supaya kami dapat memperbaiki makalah yang akan datang. Dan kami mohon maaf jika ada kata-kata dan penulisan yang kurang berkenan di hati pembaca. semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalia. Atas perhatianya kami ucapkan terima kasih,
Wassalamu’alikum Wr,Wb
                                                                                   Manna   Oktober 2010    
          Penulis

Daftar isi

HALAMAN JUDUL    
DAFTAR ISI    
KATA PENGANTAR    
BAB I Pendahuluan    
A. latar belakang    
B. rumusan masalah     
C. batasan masalah     

Bab II Pembahasan
A. Pengertian jual beli    
B. Rukun dan syarat jual beli    
C. Beberapa jual beli yang sah tetapi dilarang    
1. Penjual dan pembeli    
2. Uang dan benda yang di beli    
3. Lafaz ijab dan kabul    
E. Khiyar    
F.  Riba    
G. Utang piutang    

Bab III Penutup
    A. Simpulan    
    B. kritik dan saran    
Daftar pustaka


Pendahuluan
Al-Quran dan Nabi dengan sunnahnya merupakan dua hal pokok dalam ajaran Islam. Keduanya merupakan hal sentral yang menjadi ”jantung” umat Islam. Karena seluruh bangunan doktrin dan sumber keilmuan Islam terinspirasi dari dua hal pokok tersebut. Oleh karena sangat wajar dan logis bila perhatian dan apresiasi terhadap keduanya melebihi perhatian dan apresiasi terhadap bidang yang lain.
Seperti kita ketahui bahwa al-Qur’an merupakan buku petunjuk (kitab hidayah) khususnya bagi umat Islam serta umat manusia pada umumnya.Al-Qur’an juga menjadi Manhajul hayah (Kurikulum kehidupan) bagi manusia di dalam meniti hidup di gelanggang kehidupan ini. Satu hal yang juga disepakati oleh seluruh ummat Islam ialah kedudukan al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam, pembahasan berikut akan menjelaskan berbagai alasan (hujjah) yang menguatkan kesepakatan umat tersebut. 

1. Pengertian Al-Qur’an
Di kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian al-Qur’an baik dari bahasa maupun istilah. As-Syafi’i misalnya mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan berasal dari kata apa pun, dan bukan pula ditulis dengan hamzah. Lafadz tersebut sudah lazim dipergunakan dalam pengertian kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sementara Al-Farra berpendapat bahwa lafadz al-Qur’an berasal dari kata qarain jamak dari kata qarinah yang berarti kaitan ; karena dilihat dari segi makna dan kandungannya ayat-ayat al-Qur’an itu satu sama lain saling berkaitan. Selanjutnya Al-Asy’ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafadz al-Qur’an diambil dari akar kata qarn yang berarti menggabungkan sesuatu atas yang lain; karena surah-surah dan ayat-ayat al-Qur’an satu dan lainnya saling bergabung dan berkaitan.[2]
Pengertian-pengertian kebahasaan yang berkaitan dengan al-Qur’an tersebut sungguh pun berbeda tetapi masih dapat ditampung oleh sifat dan karakteristik al-Qur’an itu sendiri, yang antara lain ayat-ayatnya saling berkaitan satu dan lainnya. Oleh karena itu penulis mencoba pula untuk memaparkan pengertian al-Qur’an secara etimologis dan terminologis berdasarkan pendapat beberapa ahli.
Secara etimologis, al-Qur’an merupakan Masdar dari kata kerja “Qoroa” yang berarti bacaan atau yang ditulis[3], sedang menurut Quraish Shihab berarti bacaan yang sempurna[4].
Secara terminologis para ulama mengemukakan berbagai definisi sebagai berikut :
Safi’ Hasan Abu Thalib[5]  menyebutkan :
القران هو الكتاب منزل بالفاظه العربية ومعانيه من عند الله تعالى عن طريق الوحي الى النبي محمد عليه الصلاة والسلام و هو اسا س الشريعة واصلها الاول
Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan dengan lafal Bahasa Arab dan maknanya dari Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, Ia merupakan dasar dan sumber utama bagi syariat.
Dalam hubungan ini Allah sendiri menegaskan dalam firman-Nya :
انا انزلنه قرانا عربيا لعلكم تعقلون
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf : 2)[6]
Sedangkan menurut Zakaria al-Birri[7], yang dimaksud al-Qur’an adalah :
الكتاب و يسمى القران هو كلام الله تعالى المنزل على رسوله محمد صلى الله عليه و سلم باللفظ العربية و المنقول بالتواتر و المكتوب فى المصاحف
Al-Kitab yang disebut al-Qur’an dalah kalam Allah SWT, yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad SAW dengan lafal Bahasa Arab dinukil secara mutawatir dan tertulis pada lembaran-lembaran mushaf.
Sementara Al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustasfa menjelaskan bahwa yang dimaksud al-Quran adalah [8] :
القران و هو قول الله تعالى
Al-Qur’an yaitu merupakan firman Allah SWT.
Dari ketiga definisi di atas, pada dasarnya mengacu pada maksud yang sama. Definisi pertama dan kedua sama-sama menyebutkan bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa Arab. Adapun bedanya definisi kedua lebih menegaskan bahwa al-Qur’an dinukil secara mutawatir. Adapun definisi ketiga, yang dikemukakan oleh Al-Ghazali ternyata hanya menyebutkan bahwa al-Qur’an  merupakan firman Allah SWT, akan tetapi , Al-Ghazali dalam uraian selanjutnya menyebutkan bahwa al-Qur’an bukanlah perkataan Rasulullah, beliau hanya berfungsi sebagai orang yang menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT.[9]
بل هو مخبر عن الله تعالى انه حكم بكذا و كذا
Nabi hanya berfungsi pembawa atau penyampai apa-apa yang diterima dari Allah, bahwa Allah menetapkan hukum-hukum.
Untuk lebih memperjelas definisi al-Qur’an ini penulis juga nukilkan pula pendapat Dawud al-Attar. Di mana beliau menyebutkan bahwa,  Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara lafaz (lisan), makna serta gaya bahasa (uslub)-nya, yang termaktub dalam mushaf yang dinukil secara mutawatir.[10]
Definisi di atas mengandung beberapa kekhususan sebagai berikut :
a.       Al-Qur’an sebagai wahyu Allah, yaitu seluruh ayat Al-Qur’an adalah wahyu Allah; tidak ada satu kata pun yang datang dari perkataan atau pikiran Nabi.
b.      Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk lisan dengan makna dan gaya bahasanya. Artinya isi maupun redaksi Al-Quran datang dari Allah sendiri.
c.       Al-Qur’an terhimpun dalam mushaf, artinya Al-Qur’an tidak mencakup wahyu Allah kepada Nabi Muhammad dalam bentuk hukum-hukum yang kemudian disampaikan dalam bahasa Nabi sendiri.
d.      Al-Qur’an dinukil secara mutawatir, artinya Al-Qur’an disampaikan kepada orang lain secara terus-menerus oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah orang dan berbeda-bedanya tempat tinggal mereka.[11]
Sebetulnya masih terdapat sejumlah definisi lain yang dirumuskan oleh para Ulama, tetapi kelihatannya mengandung maksud yang sama meskipun secara redaksional berbeda.
Dalam kaitannya dengan sumber dalil, al-Qur’an oleh ulama ushul sering disebut dengan al-Kitab. Umumnya di dalam kitab-kitab ushul, para ulama ushul dalam sistematika dalil yang mereka susun menyebut al-Quran dengan al-Kitab.[12]
Hal ini tentu saja bisa dipahami, sebab di dalam al-Qur’an sendiri sering disebut al-Kitab –yang dimaksud adalah al-Qur’an. Seperti firman Allah :

ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 1 ).[13]
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW dengan menggunakan bahasa Arab, yang penukilannya disampaikan secara mutawatir, dari generasi ke generasi, hingga sampai sekarang ini, Penukilan al-Qur’an dilakukan oleh para sahabat dengan menghafalnya dan menyampaikan ke generasi setelah mereka melalui sanad yang mutawatir. Dengan demikian otentisitas dan keabsahan al-Qur’an dan terpelihara sepanjang masa serta tidak akan pernah berubah. Hal dibenarkan oleh Allah dalam firman-Nya :
انا نحن نزلنا الذكرى و انا له لحافظون
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr : 9)[14]
2. Kehujjahan Al-Qur’an
Sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khallaf[15],  bahwa kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya. Dengan kata lain Al-Qur’an itu betul-betul datang dari Allah dan dinukil secara qat’iy (pasti). Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Sementara M. Quraish Shihab[16] menjelaskan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu , merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Sebagai sumber ajaran Islam yang utama al-Qur’an diyakini berasal dari Allah dan mutlak benar.  Keberadaan al-Qur’an sangat dibutuhkan manusia. Di kalangan Mu’tazilah dijumpai pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan al-Qur’an bagi manusia, karena manusia dengan segala daya yang dimilikinya tidak dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya.[17] Bagi Mu’tazilah al-Qur’an berfungsi sebagai konfirmasi, yakni memperkuat pendapat-pendapat akal pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh akal. Di dalam al-Qur’an terkandung petunjuk hidup tentang berbagai hal walaupun petunjuk tersebut terkadang bersifat umum yang menghendaki penjabaran dan perincian oleh ayat lain atau oleh hadis. Petunjuk al-Qur’an terkadang memang bersifat global sehingga menerapkannnya perlu ada pengolahan dan penalaran akal manusia, dan karena itu pula al-Qur’an diturunkan untuk manusia berakal. Kita misalnya disuruh spuasa, haji dan sebagainya. Tetapi cara-cara mengerjakan ibadah tersebut tidak kita jumpai dalam al-Qur’an, melainkan dalam hadis Nabi yang selanjutnya dijabarkan oleh para ulama sebagaimana kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih.
Dengan demikian jelas bahwa kehujjahan (argumentasi) Al-Qur’an sebagai wahyu tidak seorangpun mampu membantahnya –di samping semua kandungan isinya tak satupun yang bertentangan dengan akal manusia sejak awal diturunkan hingga sekarang dan seterusnya. Lebih-lebih di abad modern ini, di mana perkembangan sains modern sudah sampai pada puncaknya dan kebenaran Al-Qur’an semakin terungkap serta dapat dibuktikan secara ilmiah.
3. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum
Seluruh mazhab dalam Islam sepakat bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum yang paling utama, dengan kata lain, al-Qur’an menempati posisi awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. al-Qur’an dipandang sebagai sumber hukum yang utama dari sumber-sumber yang ada. Safi’ Hasan Abi Thalib[18] menegaskan :

يعتبر القران المصدر الاول الاحكام الشرعية اما بقية المصادر فهى تابعة له ومتفرعة عنه ومن ثم يحتل المرتبة الاولى فى الاستبدال فلا يجوز العدول عنه الى غيره الا اذا خلا من حكم للحالة المعروضة
Al-Qur’an dipandang sebagai sumber utama bagi hعkum-hukum syari’at. Adapun sumber-sumber lainnya adalah sumber yang menyertai dan bahkan cabang dari al-Qur’an. Dan dari sini, jelas bahwa al-Qur’an menempati posisi utama dalam berargumentasi, tidak boleh pindah kepada yang lain kecuali apabila tidak ditemukan di dalamnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum utama dalam ajaran Islam. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dan cabang dari al-Qur’an, karena pada dasarnya sumber-sumber lain itu akan kembali kepada al-Qur’an. Al-Ghazali[19] bahkan mengatakan , pada hakikatnya sumber hukum itu satu, yaitu firman Allah SWT. Sebab sabda Rasulullah bukanlah hukum, tetapi sabda beliau merupakan pemberitaan tentang bermacam-macam hukum Allah SWT.
بان اصل الاحكام واحد وهو قول الله تعالى اذ قول الرسول صلى الله تعالى عليه و سلم ليس بحكم ولا ملزم بل هو مخبر عن الله تعالى انه حكم بكذه و كذا
Dari uraian di atas jelas bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah, menjadi sumber utama dalam melakukan istinbath hukum. Tidak seorang pun ulama dan umat Islam yang membantahnya.
4. Dalalah Al-Qur’an
Yang dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau pengertian dari nash ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk membawa kepada pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang ditunjukkan oleh nash dapat dipahami. Menurut istilah Muhammad al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifat disebut dengan Kaifiyah dalalah al-lafdz ‘ala al-ma’na. [20]
Dalam kajian Ushul Fiqih, untuk dapat memahami nash apakah pengertian yang ditunjukkan oleh unsur-unsur lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama ushul menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qat’iy dan zanniy. Terma ini digunakan untuk nash-nash yang lafalnya menunjukkan kepada pengertian atau makna yang sudah jelas dan tegas serta tidak mungkin diragukan.[21]
Tentang terma qat’iy dan hubungannya dengan nash, maka ulama ushul membaginya kepada dua macam yaitu :
1.    Qat’iy al-Wurud yaitu Nash-nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat diragukan lagi karena diterima secara mutawatir.
2.    Qat’iy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas serta tidak perlu lagi penjelasan lebih lanjut.
Sedangkan terma Zanniy dan hubungannya dengan nash, terbagi dua macam pula yaitu :
1.        Zanniy al-Wurud yaitu Nash-nash yang masih diperdebatkan tentang keberadaannya karena tidak dinukil secara mutawatir
2.        Zanniy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang pengertiannya tidak tegas yang masih mungkin untuk ditakwilkan atau mengandung pengertian lain dari arti literalnya.
Dalam hubungan ini, bila dihubungkan dengan al-Qur’an dari segi keberadaannya adalah qat’iy al-Wurud karena al-Qur’an itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang tidak diragukan kebenarannya. Bila al-Qur’an dilihat dari segi dalalahnya, maka ada yang qat’iy dalalah dan zanniy dalalah.
Umumnya nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan qat’iy al-dalalah ini, lafal dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta sifat nama dan jenis.
Salah satu contoh ayat yang qat’iy al-dalalah :
ولكم نصف ما ترك ازواجكم ان لم يكن لهن ولد ...
Dan bagi kamu (suami-suami) mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak …  (QS. Al-Nisa : 12)[22]
Ayat ini berbicara tentang pembagian harta pusaka/warisan. Ayat ini dalalahnya qat’iy, jelas dan tegas, karena terdapat kata nisfun (seperdua) yang tidak ada pengertian lain kecuali menunjukkan kepada maksud yang dikehendaki oleh kata itu sendiri, yaitu jumlah tertentu.
Kemudian , nash al-Qur’an di samping qat’iy al-dalalah ada juga yang zanniy al-dalalah. Nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan pada kelompok yang disebutkan terakhir ini adalah bila lafal-lafalnya diungkapkan dalam bentuk ‘am, musytarak, dan mutlaq. Ketiga bentuk lafal ini dalam kaidah ushuliyah mengandung makna atau pengertian yang banyak dan tidak tegas. Dalam penelitian ulama ushul ternyata banyak nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan zanniy al-dalalah ini, dan pada bagian ini banyak menimbulkan perdebatan di kalangan ulama ushul. Contoh berikut ini dapat dilihat secara jelas :
و المطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء ...
Wanita-wanita yang ditalak (diceraikan) hendaklah mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru. (QS. Al-Baqarah : 228)[23]
Yang menjadi persoalan di sini adalah pengertian kata “quru” yang musytarak yaitu mengandung arti lebih dari satu. Kadang dalam bahasa Arab diartikan “al-Tohr” (suci) dan kadang-kadang diartikan pula al-Haydoh (haid). Masing-masing dari arti dari lafadz quru ini menghasilkan deduksi hukum yang berbeda. Artinya jika quru diartikan dengan suci dan tentu masa ‘iddahnya lebih lama atau lebih panjang daripada arti haid. Hal ini karena penghitungannya ditekankan setelah suci (bersih) dari haid secara berturut-turut tiga kali.
Berbeda halnya jika lafal quru diartikan dengan haid, artinya jika wanita yang ditalak oleh suaminya telah nya dan terbukti haid berturut-turut tiga kali, maka habislah masa ‘iddahnya dan tidak mesti menunggu sampai ia suci (bersih).
Pada prakteknya kalangan mazhab Hanafi berpegang bahwa lafal quru berarti haid, karena berdasarkan qarinah bahwa sasaran ‘iddah tersebut adalah terkait dengan wanita apakah rahimnya bersih dari benih-benih kehamilan atau tidak dan hal ini hanya bisa dibuktikan dengan haid bukan suci. Sementara itu kalangan mazhab Syafi’i berpendapatr bahwa lafal quru berarti suci, karena qarinahnya menunjukkan kata bilangan muannas (jenis perempuan) sedangkan yang terbilang (al-ma’dud) adalah muzakar yaitu al-tohr. Demikian penjelasan Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya.
Dari contoh di atas dapat dipahami bahwa dalil nash yang dikelompokkan kepada zanniy al- dalalah memberi peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid di dalam mengambil istinbat hukum, sehingga tidak bisa dihindari terjadinya produk hukum yang berbeda.
5. Penutup
Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an memiliki kedudukan yang paling penting di dalam pengistinbatan hukum Islam sehingga sangat logis jika ia menjadi sumber utama hukum Islam.

Daftar Pustaka

Al-Birri, Zakaria, Masadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo : Dar al-Ittihad al-Arabi Littiba’ah, 1975.
Al-Ghazali, al-Mustasfa Min ‘Ilmi al-Ushul, Mesir : Maktabah al-Jumdiyah, 1971
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, (terj.) Pustaka Firdaus dari judul asli Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991, Cet. II.
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta : PT. Bulan Bintang, Cet. I, 2001

Khallaf, Abdul Wahab,‘Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1990, halaman 24.

Nasution, Harun,  Islamologi (Ilmu Kalam), Jakarta : UI Press, Cet.  II, 1980

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, Cet. IV,  2000

Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet. I. 1999.

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, Cet. III, 1996.

















Prolog :

Al-Qur’an bersifat global (mujmal) yang memerlukan perincian.  Misalnya perintah shalat, shaum maupun haji hanyalah dengan kalimat singkat : aqimis shalat, kutiba ‘alaikum as-shiam, wa atimmu alhajj, sedangkan tentang tatacara mengerjakannya tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Untuk menjelaskannya, datanglah Rasulullah SAW memberikan penjelaskan, dari mulai tatacara shalat, berrumah tangga, berekonomi sampai urusan bernegara. Penjelasan rasul itu disebut Sunnah Rasul.  Setelah Rasul wafat, permasalahan umat tetap bermunculan misalnya persoalan bayi tabung, inseminasi, euthanasia, dll. Persoalan demikian belum terakomodir di dalam Al-Qur’an maupun hadits, oleh karena itu memerlukan sumber hukum yang ketiga, yakni ijtihad.

Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan menggunanakan bahasa Arab.  Agar fungsi Al-Qur’an  sebagai hidayah (guidance) atau way of life benar-benar efektif, maka  Al-Qur’an bukan saja perlu diterjemahkan tetapi perlu jiuga ditafsirkan. Cara menafsirkan Al-Qur’;an bisa menggunakan dua pendekatan, yakni tafsir Tahlili dan tafsir Maudhu’i. Kini banyak tokoh-tokoh Islam aliran rasional Liberal, yang menafsirkan Al-Qur’an dengan dominasi akal. Pendekatannya ada tiga yakni  tafsir Mateforis, tafsir Hermenetika dan tafsir dengan pendekatan Sosial Kesejarahan.
 Tercatat
________________________________________
prince_darkness
•    Pengunjung

Re: AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM PERTAMA DAN UTAMA
« Jawab #1 pada: Februari 11, 2007, 04:20:58 pm »
Pembuktian Al-Qur’an sebagai Wahyu dalam Persepketif Sains :

Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur;an yang berisi informasi tentang alam semesta yang dapat dijadikan bukti bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah, bukan karya manusia, beberapa di antaranya adalah :
•   Tentang awal kejadian langit dan bumi.  Di dalam QS. 21 : 30 Allah menegaskan : “Apakah orang-orang lafir tidak mengetahui, sesungguhnya langit dan bumi dahulunya adalah satu yang padu, maka kemudian kami lontarkan. Dan Kami jadikan semua makhluk hidup dari air, apakah mereka tidak mau beriman”.
•   Tentang pergerakan gunung dam lempengan bumi. QS  :”Dan kamu melihat gunung, kamu menyangka gunung itu diam. Tidak gunung itu bergerak sebagaimana geraknya awan”.
•   “Nabi Yusuf berkata : Ya ayahku ada sebelas planet yang bersujud kepadaku”. Allah sebagai pencipta alam ini menegaskan di dalam Al-Qur’an bahwa planet itu ada sebelas. Padahal para ahli astronomi berpendapat hanya ada sembilan planet. Siapa yang benar ? Allah sebagai penciptanya atau manusia yang hanya mencari dan menemukannya. Pasti Allah yang benar.  Baru pada tahun-tahun terakhir ini para ahli astronomi menemukan bahwa planet itu ada sebelas.
Mana mungkin Al-qur’an mampu memberi informasi tentang alam yang menjadi ilmu pengetahuan modern,  seandainya Al-Qur’an bukan karya Allah. Ayat-ayat di atas membuktikan bahwa dilihat dari perspektif sains, Al-Qur’an pasti karya Allah, firman Tuhan bukan karya nba  Muhammad SAW.
 Tercatat
________________________________________
prince_darkness
•    Pengunjung

Re: AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM PERTAMA DAN UTAMA
« Jawab #2 pada: Februari 11, 2007, 04:21:28 pm »
Bahasa Al-Qur’an :
Allah menegaskan  “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab”.  Ini penegasan dari Allah SWT, bahwa Al-Qur’an adalah bahasa Arab, bahasa yang dipakai oleh nabi Muhammad dan oleh masyarakat Arab. Tujuannya sudah pasti agar Al-Qur’an mudah difahami.

Akan tetapi, menurut Isa Bugis, Al-Qur’an bukan bahasa Arab tetapi bahasa wahyu. Alasannya  adalah karena Muhammad adalah keturunan nabi Ismail dari isteri kedua, sehingga Muhammad berdarah Babylon, bukan berdarah Arab asli dengan demikian maka bahasa nabi Muhammad adalah bukan bahasa Arab tetapi serumpun dengan bahasa Arab, itulah yang disebut "bilisáni qaumih" (berbicara dengan bahasa kaumnya).

Menurut penulis, pendapat di atas tidak tepat. Alasan pertama, sebagaimana dijelaskan oleh Ismail al-Faruqi adalah bahwa, suku Arab asli (al-‘Aribah) ialah suku Qanaan, Ya‘rub, Yasyjub dan Saba'. Kemudian datanglah suku Arab Musta‘ribah I (Pendatang I), yakni suku ‘Adnan, Ma’ad dan Nizar. Lantas datang pula suku Arab Musta‘ribah II (Pendatang II) yakni suku Fihr atau Quresy. Jadi suku Quresy adalah bagian dari Suku Arab, bukan suku lain.  Suku-suku pendatang lantas berbaur dan mempelajari bahasa yang ada yakni bahasa Arab, bukan mempelajari bahasa Babylon.

Alasan kedua, Bangsa Arab termasuk bangsa Semit. Dewasa ini yang disebut dikatagorikan bahasa Semit adalah setengah kawasan bagian Utara, bagian Timurnya berbahasa Akkad atau Babylon dan Assyiria, sedangkan bagian Utara adalah bahasa Aram, Mandaera, Nabatea, Aram Yahudi dan Palmyra. Kemudian di bagian Baratnya adalah Foenisia, Ibrani Injil. Di belahan Selatan, yakni di bagian utaranya berbahasa Arab sedangkan sebelah selatan berbahasa Sabe atau Hymyari, dan Geez atau Etiopik. Hampir semua bahasa di atas telah punah , hanya bahasa Arab yang masih hidup". 

Apakah ada bahasa selain Arab yang serumpun dengan bahasa arab dapat dilihat antara lain dari bentuk hurufnya. Huruf Arab ternyata berbeda sekali dengan dengan huruf bahasa Foenesia, Aramaea, Ibrani, Syiria Kuno, Syiria Umum, Kaldea dan Arab. Para pembaca bisa melihat perbedaan huruf-huruf tersebut pada buku "Atlas Budaya" karya Ismail Al-Faruqi bersama isterinya.

Al-Qur'an menggunakan huruf Arab bukan huruf lainnya, dengan demikian maka bahasa dan tulisan Al-Qur'an memang mutlak bahasa Arab bukan bahasa yang serumpun bahasa Arab. Kalau mau dikatakan serumpun maka harus dikatakan serumpun dengan bahasa Semit bukan serumpun bahasa Arab. Sebagai tambahan penjelasan, menurut Ismail Al-Faruqi, bahasa Semit yang masih hidup sampai saat ini adalah bahasa Arab. Dengan demikian maka bahasa Al-Qur'an adalah bahasa Arab, bahasanya orang Arab bukan serumpun dengan bahasa Arab.

Hujjah lain dari kelompok Isa Bugis adalah bahwa jika Al-Qur’an berbahasa Arab maka semua orang Arab pasti mengerti Al-Qur’an, tetapi pada kenyataannya tidak semua orang Arab mengerti Al-Qur’an, kalau begitu Al-Qur’an bukanlah bahasa Arab.

Hujjah inipun lemah. Mengapa demikian? Keadaan ini sama saja dengan orang Indonesia. Tidak semua orang Indonesia mampu memahami karya sastera berbahasa Indonesia, ini karena buku-buku sastera itu menggunakan bahasa Indonesia kelas tinggi.

Pada umumnya orang-orang Arab dalam percakapan mereka sehari-hari menggu-nakan bahasa Arab Yaumiyah sedangkan Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab Fushá. Di samping itu untuk dapat memahami suatu teks tidak cukup dengan mengetahui kosa kata (mufradat) tetapi harus berbekal ilmu pengetahuan tentang isi teks. Sarjana sastera Indonesia misalnya, tidak otomatis dapat memahami teks buku-buku Ilmu Kimia. Begitu pun sarjana Kimia tidak otomatis memahami teks tentang filsafat. Untuk mampu memahami teks ilmu pengetahuan, harus memiliki syarat-syarat, antara lain memahami substansi materi, memiliki frame of reference yang teratur, serta memiliki paradigma berfikir yang menunjang. Ketidakmengertian sebahagian orang Arab terhadap teks-teks Al-Qur’an tidak menunjukkan bukti bahwa Al-Qur’an bukan bahasa Arab.

Hujjah ketiga Isa Bugis adalah bahwa kata ‘Arabiyyan dengan doble ya merupakan ya nisbat yang menunjukkan serumpun dengan bahasa Arab tetapi bukan bahasa Arab. Sepengetahuan penulis, kata ‘arabiyyan berarti bahasa yang dinisbahkan kepada orang Arab, atau bahasanya orang Arab, yakni bahasa Arab.

Wahbah Zuhayly, ketika menafsirkan ayat tersebut menyataklan bahwa kata ‘arabiyyan bermakna “nuzila bilisánin ‘arabiyyin mubân, yaqra-u bi lugah al-‘arabi”,   yang artinya al-Qur’an diturunkan dengan lisan orang Arab, di baca dengan bahasa Arab. Senada dengan itu, Muhammad Ibn Muhammad Abu Syahbah dalam bukunya: ”Al-Madkhal li Dirásah Al-Qur’án al-Karâm” menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu adalah kitab ‘arabiyyah al-akbar atau kitab berbahasa Arab yang maha besar. 

Kelompok Isa Bugis pun lantas beralih dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an bahasa Quresy bukan bahasa Arab. Pendapat demikian ditentang oleh Ahmad Satori sebagai doktor dalam sastra Arab. Ia menegaskan bahwa bahasa orang Arab adalah bahasa Arab. Perbedaan bahasa Quresy dengan bahasa suku Tamim dan lain-lainnya hanyalah dalam dialek bukan dalam makna.
Dengan demikian hujjah Isa Bugis yang menyatakan al-Qur'an bukan bahasa Arab, seluruhnya tertolak.
 Tercatat
________________________________________
prince_darkness
•    Pengunjung

Re: AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM PERTAMA DAN UTAMA
« Jawab #3 pada: Februari 11, 2007, 04:22:01 pm »
Fungsi  Al-Qur’an

Aturan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur'an memiliki tiga fungsi utama, yakni  sebagai hudá (petunjuk), bayyinát (penjelasan) dan furqán (pembeda). Sebagai  hudá, artinya Al-Qur’an merupakan  aturan yang harus diikuti  tanpa tawar menawar sebagaimana papan petunjuk arah jalan yang dipasang di jalan-jalan. Kalau seseorang tidak mengetahui arah jalan tetapi sikapnya justeru mengabaikan petunjuk yang ada pada papan itu, maka sudah pasti ia akan tersesat ( QS. 13: 37). Petunjuk yang ada pada Al-Qur’an benar-benar sebagai ciptaan Allah  bukan  cerita yang dibuat-buat (QS. 12:111). Semua ayatnya harus menjadi rujukan termasuk dalam mengelola bumi.

Dengan menggunakan kedua macam hukum secara beriringan  yakni hukum alam  dan hukum Al-Qur’an, ditujukan antara lain untuk  menampakkan kejayaan Islam dan mengalahkan segenap tata aturan ciptaan manusia (liyudlhirah ‘aláddini  kullih) sebagaimana ditunjukkan oleh kemenangan negeri Madinah atas negeri Mekah yang Jahiliyah (futuh Mekah). Supaya tujuan itu bisa dicapai maka hukum Allah (Al-Qur’an) harus benar-benar dijadikan undang-undang oleh para khalifah fil ardl dalam mengelola bumi.

Sedangkan Al-Qur’an sebagai bayyinát berfungsi memberikan penjelasan tentang  apa-apa  yang dipertanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya sebagai  bayyinát, Al-Qur'an  harus dijadikan rujukan semua peraturan yang dibuat oleh manusia, jadi manusia tidak boleh membuat aturan sendiri sebab sistem aturan produk akal manusia sering hanya bersifat  trial and error.

Fungsi ketiga Al-Qur’an adalah sebagai furqán atau  pembeda antara yang haq  dan yang báthill,  antara muslim dan luar muslim, antara nilai yang diyakini benar oleh mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang kufurr. 

Untuk bisa memahami dan menggali fungsi-fungsi Al-Qur’an, baik sebagai hudá, bayyinát maupun furqán  secara mendalam,  maka Al-Qur’an perlu dipelajari bagian demi bagian secara cermat dan tidak tergesa-gesa (QS. 75 : 16-17, QS. 17 : 105-106), memahami munásabah atau hubungan ayat yang satu dengan yang lain, surat yang satu dengan surat yang lain.

Selanjutnya fungsi lain Al-Qur’an sebagai Syifa (obat, resep). Ibarat resep dokter, pasien sering sulit membaca resep dokter apalagi memahaminya, akan  tetapi walaupun begitu,  pasien tetap percaya bahwa resep itu benar mustahil salah karena dokter diyakini tidak mungkin bohong. Inilah kebenaran otoritas.  Demikian pula dengan Al-Qur’an, ia a adalah resep dari Allah yang sudah pasti benar mustahil salah karena Allah adalah Maha Benar. Dengan demikian walaupun ada beberapa ayat Al-Qur;an yang untuk sementara waktu belum dapat difahami oleh ratio, tak apa tetapi tetap harus dilaksanakan, sebab  kalau menunggu dapat memahaminya secara penuh bisa  keburu mati. 

Juga obat dari dokter kadang rasanya manis kadang pahit, tetapi dokter berpesan agar obat tersebut dimakan sesuai aturan dan sampai habis, sebab kalau tidak tepat aturan dan tidak sampai habis, penyakitnya tidak akan sembuh. Demikian pula dengan Al-Quran sebagai obat, tidak selalu harus sejalan dengan perasaan (feeling) kemauan (willing) dan ratio (thinking). Allah menghendaki agar seorang mukmin mengamalkan seluruh ayat Al-Qur’an tanpa terkecuali. Pemilahan dan pemilihan ayat-ayat tertentu untuk diamalkan sedangkan ayat yang lainnya dibiarkan adalah sikap kufur (Nu’minu biba;dlin wa nakfuru biba’dlin).
 Tercatat
________________________________________
prince_darkness
•    Pengunjung

Re: AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM PERTAMA DAN UTAMA
« Jawab #4 pada: Februari 11, 2007, 04:22:37 pm »
Cara menafsirkan Al-Qur’an :

Untuk memahami isi atau pesan Al-Qur’an yang terkandung dalam seluruh ayat Al-Qur;an tidak cukup dengan terjemah, sebab terjemah hanyalah alih bahasa, tetapi perlu melakukan penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an.

Dilihat dari caranya,  dikenal dua macam penafsiran yakni tafsir tahlili dan tafsir maudhui.Tafsir Tahili ialah menafsirkan Al-Qur’an secara runtut, ayat perayat, dari mulai surat Al-Fátihah ayat pertama sampai surat An-Nás ayat terakhir, tanpa terikat oleh tema, judul atau pokok bahasan. Sedangkan tafsir Maudlu‘i ialah penafsiran berdasarkan tema-tema yang dipilih sebelumnya. Caranya semua ayat yang berkaitan dengan tema (maudlu’i) yang dibahas diinventarisir tanpa terikat oleh urutan surat, kemudian disistimatisir dan ditafsirkan sehingga antara ayat yang satu dengan ayat yang lain saling melengkapi pembahasan tema. Misalnya pembahasan tentang Riba, maka seluruh ayat yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan masalah riba, diinventarisir kemudian dibahas menurut sub-sub tema sehingga sampai kepada kesimpulan.

Dilihat dari pendekatannya, tafsir terbagi dua, yakni Tafsâr bi al-Ma’`tsur dan Tafsirr bi al-Ma‘qul. Yang dimaksud Tafsir bi al-Ma’`tsur ialah menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits. Sedangkan Tafsir bi al-ma‘qul adalah penafsirkan al-Qur’an dengan logika. Tafsir kedua ini sering juga disebut tafsâr bi ar-Ra’yi.  Jadi yang dimaksud dengan tafsir bi ar-Ra’yi adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan dalil-dalil logika.
Dari sisi perspektifnya, tafsir Al-Qur’an juga beragam corak Apabila penafsiran Al-Qur’an dilihat dari persepektif cabang ilmu pengetahuan tertentu seperti psikologi, sosiologi, Biologi, dll, maka  disebutlah tafsir ‘lmi. Sedangkan apabila didekati dari perspektif tasawuf disebutlah tafsir Tasawuf .
 Tercatat
________________________________________
prince_darkness
•    Pengunjung

Re: AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM PERTAMA DAN UTAMA
« Jawab #5 pada: Februari 11, 2007, 04:23:11 pm »
Penafsiran Al-Qur’an kelompok Rasional Liberal :
Kini muncul kelompok orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan dominasi rasio yang biasa dikenal dengan sebutan kelompok rasional liberal. Mereka menggunakan tiga pendekatan yakni tafsir Metaforis, tafsir Hermenetika dan pendekatan sosial kesejarahan.

Tafsir Metaforis :
Tafsir metaforis ialah mengambil makna kiasan misalnya ada pernyataan “Tikus-tikus dipenjara.” Pernyataan ini tidak rasional, maka kata tikus dimaknai koruptor. Demikian pula pernyataan bahwa tongkat (asha) nabi Musa menjadi ular dianggap tidak rasional, karena kalau tongkat bisa menjadi ular berarti telah mengubah sunnatullah padahal sunnatullah tidak akan pernah berubah.

Supaya rasional, maka diambillah makna kedua dari kata ‘asha yakni pegangan. Dengan demikian maka pernyataan menjadi  :” Musa melemparkan pegangan (baca: agama Islam) ke tengah-tengah masyarakat . Agama Musa tersebut ternyata sanggup mengalahkan isme/ agama (ular-ular) ahli sihir, sehingga agama Musa menang lantas menyebar cepat sekali, menjalar-jalar bagaikan ular.

Demikian pula pernyataan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa nabi Ibrahim a.s tidak mempan dibakar api, adalah pernyataan tidak rasional, sebab tidak mungkin api yang panas menjadi dingin. Karena kalau demikian berarti sunnatullah api berubah.  Supaya rasional, maka pernyataan tersebut harus diitafsirkan sbb : “ Ibrahim dibakar oleh suasana masyarakat yang sangat panas bagaikan api”.

Selintas upaya rasionalisasi Al-ur’an ini bagus sekali tetapi ketika ditanya, “Bagaimana tafsir bahwa nabi Isa lahir dari rahim Maryam yang perawan. Apakah rasional ?”. Pati kelompok ini tidak sangat sulit menjawab secara tepat dan rasional.

Tafsir Hermenetika :
Ialah menafsirkan ayat al-Qur’an dari sisi batini. Contoh :  Tidak ada satu ayat pun bahkan satu hadits pun yang melarang perbudakan. Akan tetapi banyak sekali ayat Al-Qur’an dan hadits yang menjelaskan bahwa apabila seorang muslim melakukan pelanggaran atas aturan tertentu, ia terkena finalti, yakni harus memerdekakan seorang hamba sahaya (budak belian). Kalau begitu pada hakikatnya, pada sisi batininya Al-Qur’an melarang perbudakan. Sampai di sini dapat difahami. Akan tetapi kemudian bergeser kepada persoslan poligami.

Menurut kelompok Rasional Liberal, Allah memang memerintahkan seorang pria muslim untuk menikah dengan perempuan yang baik akhlaqnya sampai batas maksimal empat orang isteri. Akan tetapi Al-Qur’an sendiri langsung menjelaskan bahwa apabila kamu khawatir berbuat tidak adil,  lebih baik satu isteri saja. Bahkan hadits nabi menjelaskan bahwa pria yang tidak bersikap adil dalam berpoligami, di akhirat kelak akan berjalan merangkak dengan lidah yang menjulur.  Kalau begitu – demikian kelompok rasional Liberal – pada prinsipnya pernikahan dalam Islam adalah monogamy dan mengharamkan poligami.

Padahal poligami dilaksanakan oleh nabi dan banyak para sahabat nabi. Bagaimana mungkin para sahabat tidak memahami pesan  batini Al-Qur’an.

Pendekatan Sosial Kesejarahan :
Menurut kelompok Rasional Liberal, hukum itu berkembang sesuai dengan perkembangan sosial. Contoh : Pada zaman jahiliyah, kaum wanita tidak mendapatkan harta pusaka (warisan). Datanglah Islam. Islam memandang cara demikian sangat tidak adil, maka Islam mengatur bahwa wanita mendapatkan warisan tetapi setengah dari bagian pria. Diatur demikian, karena apabila wanita yang semula tidak memperoleh warisan, tiba-tiba mendapat bagian yang sama dengan pria, besar kemungkinan akan mengakibatkan heboh nasional. Itu dulu, empat belas abad yang silam. Sekarang zaman sudah berubah, oleh karena itu  perlu ada reinterpretasi terhadap konsep adil, apalagi wanita zaman sekarang bukan lagi pihak yang tertanggung tetapi pihak yang menanggung. Oleh karena itu pula,  akan sangat memenuhi prinsip keadilan apabila bagian perempuan sama besar dengan bagian laki-laki.

Muncullah pertanyaan bagi kelompok Rasional Liberal :” Apakah adil itu adalah sama rata atau proporsional ?”. Apakah warisan bagi perempuan sebesar setengah dari bagian laki-laki yang Allah tetapkan dinilai tidak adil sehingga perlu direvisi ? Bukankah aturan Islam itu telah sempurna ?”. Kalau aturan Allah masih perlu revisi, mengapa Allah tidak menurunkan nabi yang baru ?”.
Pendapat-pendapat kelompok rasional liberal yang lebih didominasi oleh akal/ ratio telah mendapatkan penentangan hebat dari para pemikir Islam lain yang tafaqquh fiddin.
 Tercatat
________________________________________
prince_darkness
•    Pengunjung

Re: AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM PERTAMA DAN UTAMA
« Jawab #6 pada: Februari 11, 2007, 04:24:10 pm »
Kritik Terhadap Upaya Rasionalisasi dalam Menafsirkan Al-Qur’an :

Sebenarnya upaya rasionalisasi tafsir Al-Qur’an bukanlah hal baru, misalnya penafsiran Muhammad Abduh tentang surat al-Fil yang berbeda dengan tafsiran terdahulu. Menurut tafsir Ibn Abbas dan lain-lain, burung Abábil itu melempar pasukan gajah dengan batu dari neraka (sijjil), Setiap burung membawa tiga butir batu, dua butir di kedua kakinya dan satu butir di paruhnya. Batu tersebut adalah batu kecil dari tanah yang membara.  Tetapi Muhammad Abduh dengan tafsir metaforis rasionalnya berpendapat lain, menurutnya sijjil bukanlah batu dari neraka tetapi berupa virus. Dengan serangan virus itulah tentara Abrahah menjadi sakit parah dan akhirnya mati.
Rasionalisasi Al-Qur’an dilakukan dengan pendekatan tafsir Metaforis, misalnya tentang mukjizat nabi Musa. Nabi Musa memukulkan tongkat ke laut sehingga terbelah menjadi jalan. Menurut kelompok rasional  itu tidaklah mungkin sebab menyalahi sunnah Allah. Sunnah Allah yang bergerak di dalam hukum kausalitas merupakan ketetapan yang pasti, tidak berubah. Demikian juga ketika nabi Ibrahim dibakar tetapi tidak mati gara-gara apinya menjadi dingin, padahal sifat api sebagai sunnah Allah adalah panas. Dengan demikian tidak mungkin api yang panas menjadi dingin karena kalau begitu sunnah Allah tentang api telah berubah. Kalau sunnah Allah berubah maka hukum alam pun berubah, kalau hukum Alam berubah-ubah maka tidak dapat dibuat rumus-rumus ilmu Alam, kalau begitu ilmu Alam tidak lagi menjadi ilmu pasti.
Untuk mengomentari ini, ada baiknya dikedepankan dulu pandangan Din Syamsudin. Menurut Din, dalam mengkonseptualisasikan Islam, umat Islam menghadapi dua problema intelektual. Pertama, ketika Islam diyakini sebagai agama yang berlandaskan wahyu, umat Islam dihadapkan kepada problema yang menyangkut hubungan akal dengan wahyu. Kedua, ketika Islam diyakini sebagai kehidupan, umat Islam dihadapkan kepada persoalan hubungan antara agama dan persoalan kehidupan (sekuler).
Upaya rasionalisasi ayat Al-Qur’an dalam batas-batas tertentu sah-sah saja karena Islam memang rasional sehingga Islam itu diperuntukkan bagi orang-orang yang berakal (Ad-Din al-Aql). Namun batasan rasional atau tidaknya, logis atau tidaknya sesuatu kejadian sangat tergantung kepada kemajuan berfikir dan kebudayaan termasuk perkembangan sains teknologi yang berkembang saat itu.
Dalam hal ini Richard Thamas (1993) dalam bukunya berjudul “:The Passion of Western Mind” menulis sebuah judul “The Crisiss of Modern Science” menyatakan bahwa ilmu Barat yang spektakuler itu ternyata menghadapi krisis antara lain setelah sekian ratus tahun meyakini “certainty principle”, salah satu basic sains tentang kepastian hubungan sebab – akibat atau “if X, then Y” tetapi pada perkembangan berikutnya ternyata ada juga “Uncertainty principle”. Kausality ternyata terlalu simplistik. Kini ditemukan bahwa partikel-partikel saling mempengaruhi tanpa dihayati bagaimana hubungan kausality di antara mereka.  Bahkan menurut Thomas Kuhn, dalam sains terdapat akumulasi data yang bertentangan yang akhirnya menimbulkan krisis paradigma dan setelah itu timbullah suatu sintesis yang imajinatif, yang akhirnya memperoleh rekognisi ilmiah, sedangkan yang terjadi ke arah itu bersifat non-rasional. Karena itu ilmu pengetahuan yang sekarang dianggap sebagai sesuatu yang relatif. S
Sebenarnya alam sebagai fakta dengan segala hukumnya adalah absolut, tetapi ilmu pengetahuan alam yang ditemukan manusia bersifat relatif. Sebagai contoh, bahwa Al-Qur;an menjelaskan bahwa planet itu ada sebelas (ihda ‘asyrata kaukaban), tetapi para ahli astronomi menyebutkan hanya sembilan. Demikian puluhan tahun pendapat itu mendominasi. Kemudian ditemukan lagi satu planet sehingga berjumlah 10, kini terakhir ditemukan satu planet lagi sehingga menjadi sebelas.  Jadi jumlah planet sebagai fakta adalah absolut namun pengetahuan manusia tentang planet bersifat relatif.
Di samping itu perlu difahami bahwa ada perbedaan antara pengetahuan (knowledge) dan ilmu (science). Dalam kesimpulan penulis, pengetahuan itu bisa benar bisa salah. Pengetahuan yang benar disebut al-‘ilmu atau haq, sedangkan pengetahuan yang salah disebut persepsi atau opini. Pendek kata, pada hakikatnya, kebenaran (al-haq, al-‘ilmu) adalah mutlak, absolut, sedangkan yang berbeda-beda adalah persepsi orang tentang kebenaran.
Manusia dengan rasionya berusaha mencari kebenaran (ilmu). Caranya, setiap data yang masuk ke otak akan diolah dengan paradigma berfikirnya sehingga menjadi sebuah pengetahuan (kesimpulan), tetapi apakah kesimpulan itu sebagai ilmu atau hanya persepsi belumlah pasti. Karena itu wajar kalau kesimpulan seseorang tentang sesuatu suka berubah-ubah. Teori yang hari ini dianggap benar tetapi beberapa tahun kemudian direvisi bahkan dibuang. Dalam proses menemukan kebenaran itu, manusia sering harus menempuh kesalahan-kesalahan yang banyak tiada terhingga, atau bersifat trial and error.
Untunglah turun wahyu. Fungsi wahyu adalah untuk membantu manusia agar jangan terlalu lama atau jangan terlalu sulit menemukan kebenaran, terutama dalam persoalan-persolan metafisika atau tentang hakikat sesuatu. Dan sangat mungkin kalau hanya mengandalkan kekuatan nalar semata, terlalu banyak hal yang tak dapat ditemukannya padahal ilmu sangat penting dimiliki untuk bekal di dunia ini, misalnya apa arti hidup, apa itu mati, bagaimana setelah mati, apa itu syetan dan bagaimana sikap manusia terhadap syetan. Wahyu memberikan informasi seputar masalah-masalah di atas yang tidak mungkin dapat ditemukan melalui penelitian empirik.
Dalam pandangan penulis, manusia dengan rasio yang berfikir berlandaskan kausality, tidak dinilai serba mampu untuk mencapai segenap ilmu, karena rasio memiliki daya deteksi yang terbatas. Oleh karena itu, apabila rasio dijadikan sebagai ukuran segenap kebenaran agaknya terlalu riskan.
Dengan hubungan kausality sebagaimana dijelaskan di atas, di Barat hanya dikenal dua katagori ilmu, yakni Empirical Science (ilmu Empirik) dan Rational Science (ilmu rasional) Empirical science adalah manakala kebenarannya yang bersumber kepada indera terutama mata, dengan kata lain dapat dilihat, diobservasi atau dibuktikan melalui eksperimen, misalnya ilmu kedokteran, Fisika, Kimia, Biologi, dll. Jika dalam uji coba tersebut tidak terbukti berarti teori itu salah.
 Sedangkan Rational science ialah kebenaran yang bersumber kepada rasio (akal). Benar tidaknya sesuatu diukur oleh signifikansi hubungan antara sebab dan akibat. Apabila terjadi hubungan sebab dan akibat yang jelas, maka itu dikatakan logis, rasional dan dianggap benar. Tetapi jika hubungan antara sebab dan akibat itu tidak nampak jelas maka dinilai tidak rasional dan salah.
Di luar Empirical science dan Rational science adalah belief (kepercayaan) semata-mata dan bukan ilmu. Jadi berita tentang bangkit dari kubur, jin, malaikat, termasuk cerita tentang mukjizat, karena persoalan tersebut tak dapat dibuktikan dengan indera maupun dengan rasio, maka dinyatakan bukan ilmu melainkan sekadar kepercayaan.
Apakah paradigma demikian bisa digunakan dalam memahami Islam?. Ini nampaknya agak sulit. Kalau kita menganalisis dengan teliti ilmu-ilmu atau aturan yang terdapat dalam Al-Qur’an, akan banyak ditemukan ilmu-ilmu yang mungkin dinilai tidak rasional karena antara sebab dan akibat hukum, sering tidak terdeteksi. Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang agak sulit difahami, agak sulit mencari hubungan sebab – akibat. Sebagai contoh Allah mengharamkan babi. Pertanyaannya adalah mengapa babi itu diharamkan, apa sebabnya. Ini sangat sulit dijawab. Paling-paling jawabannya adalah karena memang Allah telah menetapkan demikian, titik.
Keharaman babi berbeda dengan keharaman arak (khamr). Haramnya arak mudah difahami oleh akal karena arak dapat mengakibatkan mabuk dan merusak otak. Penetapan hukum haram atas arak sangat logis – rasional. Demikian juga sebab-sebab haramnya zina, berjudi, membunuh – walaupun Al-Qur’an tidak menjelaskan sebab akibatnya – tetapi akal/ rasio sudah bisa memahaminya.  Lain lagi perihal air liur anjing. Hadits ini menyatakan :
عن أبى هريرة رضي الله عنه  قال : قال رسول الله  صلّى الله عليه و سلّم   :طهور إناء أحدكم  إذا ولغ  فيه  الكلب  إن يغسله سبع مرات اولا هن بالتراب
Dari Abâ Hurairah r.a ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, bersih-kanlah bejana salah seorang di antaramu, apabila dijilat anjing dengan membersihkan sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah (HR. Muslim). 

Hadits serupa berasal dari ‘Ali ibn Hujr al-Sa‘dy, dari ‘Ali ibn Mushâr, dari A‘masy, dari Abâ Razain dan Abâ Shálih dari Abâ Hurairah. Juga dari Mu\ammad ibn Rafi’, dari Abd Razaq, dari Ma‘mar, dari Hamam ibn Munabbah, dari Abâ Hurairah.
Menurut hadits di atas, kalau bejana dijilat anjing maka wajib dibasuh tujuh kali, satu kali menggunakan tanah. Pertanyaannya adalah mengapa harus dengan tanah bukan dengan sabun. Apakah hal itu karena di zaman nabi belum mengenal sabun? Tentu tidak sesederhana itu jawabannya. Namun untuk dapat memahami mengapa harus dicuci dengan tanah memang sangat sulit.
Hal ini besar kemungkinan berkaitan dengan unsur-unsur karbon yang sangat beragam dalam tanah. Multi karbon sangat efektif dalam menghilangkan racun termasuk virus rabies, sedangkan sabun hanya mengandung beberapa karbon saja yang mustahil dapat membunuh virus rabies.
Muncul lagi pertanyaan, mengapa kalau anjing menjilat bejana, bejana itu harus dibasuh tujuh kali di antaranya satu kali dengan memakai tanah. Tetapi ketika berburu kelinci menggunakan anjing terlatih (mu‘allam), terus anjing ini menggigit kelinci, tidak ada satu hadits pun yang mengharuskan mencuci leher kelinci bekas gigitan anjing itu dengan tanah. Mengapa demikian?” Selintas pertanyaan ini menyudutkan dan sulit dijawab. Akan tetapi apabila ditanyakan kepada ahlinya, rahasianya dapat agak terbuka.
Dapat kita bandingkan dengan bisa ular. Apabila manusia digigit oleh ular kobra, maka dalam beberapa menit saja manusia bisa mati, padahal hanya sedikit saja bisa ular yang masuk melalui pagutan itu. Lain halnya dengan bisa yang sengaja diperas dari mulut kobra itu. Apabila bisa ular itu diperas dari mulutnya kemudian ditampung pada gelas lantas diminum, ternyata tidak berbahaya bahkan justeru menjadi obat.  Kasus ini kurang lebih sama dengan air liur anjing tadi. Air liur yang keluar ketika anjing menjilat dan ketika tetap dalam mulutnya, terdapat perbedaan besar.
Contoh lain ialah tentang puasa. Orang yang sering menahan lapar bisa terkena penyakit maag, tetapi tidak demikian dengan menahan lapar karena puasa. Kalau perut sangat lapar dapat mengakibatkan tubuh berkeringat dingin, tetapi tidak demikian kalau lapar karena puasa. Kalau perut sedang lapar akan sulit tidur, tetapi kalau perut lapar karena puasa justeru nikmat tidur. Mengapa demikian?
Contoh lainnya masih tentang puasa adalah bahwa ketika Nabi berbuka puasa, Nabi ta‘jil (mempercepat buka puasa) hanya memakan tiga biji kurma bukan dengan makan yang banyak. Mengapa demikian? Menurut ilmu kedokteran, ketika berpuasa, lambung (maag) itu kosong. Dengan berbuka menggunakan kurma (manis) akan mempercepat pembakaran dan segera dapat mengganti glukosa (gula darah) yang berkurang selama puasa. Mengapa hanya tiga kurma? Dengan kurma yang sedikit yang masuk ke dalam lambung, maka darah akan mengalir ke lambung sebagai energi sehingga lambung bisa bekerja dengan baik. Setelah lambung memiliki energi yang cukup kuat barulah diisi dengan makanan yang banyak, sehingga lambung bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Berbeda jika lambung itu langsung diisi dengan makanan yang banyak tanpa “pemanasan”, maka lambung memerlukan banyak darah sehingga darah dari otak akan turun ke lambung, akibatnya otak kekurangan darah, ini berarti otak kekurangan oksigen sehingga jadi mengantuk.
Dengan mengetengahkan contoh-contoh di atas, penulis bermaksud meminta perhatian bahwa apa-apa yang dilakukan nabi yang menyangkut diniyah walaupun untuk sementara waktu dinilai kurang rasional namun jangan tergesa-gesa menolaknya. Sebab ukuran rasional dan tidaknya sesuatu sangat tergantung kepada ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Dengan demikian, tidak boleh hanya karena akal manusia belum bisa menemukan hubungan sebab akibatnya, lantas dengan serta merta ajaran Islam (ayat Al-Qur’an) yang dianggap tidak rasional (untuk sementara waktu) itu ditafsirkan sesuai dengan selera penafsir.
Kejadian yang lebih sulit lagi manakala kita ingin mengetahui logis tidaknya mukjizat. Misalnya Nabi Ibrahim a.s dibakar tidak merasa panas,  Tongkat Nabi Musa a.s menjadi ular, serta Nabi Muhammad SAW ber-Isra Mi’raj. Apabila kejadian ini diukur dengan ilmu dalam batasan rasional, maka pasti akan dianggap irrasional dan kemudian ditolak. Tidak heran kalau kelompok pemikir Rasional menyatakan mukjizat seperti itu hanyalah mitos doktrinal, tidak ubah dongeng Lampu Aladin (fiktif).  Dan karena anggapannya itu,  mereka  lebih suka melakukan reinterpretasi dengan pendekatan rasional metaforis.
Seandainya semua hal harus rasional, lantas bagaimana dengan Isa (Yesus) yang lahir dari rahim Maryam yang masih perawan, tanpa suami dan tanpa berbuat zina. Apakah ada tafsiran yang lain?
Kejadian yang aneh di luar kebiasaan yang sulit difahami seperti mukjizat bukanlah ilmu Empirik karena tidak dapat diulang-ulang melalui kegiatan eksperimen, Bukan pula Ilmu Rasional karena interrelasi sebab – akibatnya sulit ditemukan, tetapi termasuk dalam katagori ilmu Suprarasional atau kejadian Supranatural. Kebenarannya hanya dicapai dengan hati (qalbu) yang percaya, atau bisa disebut haqq al-yaqân.
Apalagi kalau menyangkut persoalan siksa kubur, alam Mahsyar, syurga dan neraka yang sama sekali tidak bisa dijangkau akal, bahkan tak dapat dibayangkan. Kebenaran ilmu tersebut hanya dibuktikan dengan ruh yakni setelah manusia mati. Ilmu yang demikian disebut dengan Metarasional. Dalam paradigma Al-Qur’an disebut Ilmu Gaib.
Berdasarkan kajian-kajian yang penulis lakukan, penulis berkesimpulan bahwa sebenarnya ilmu itu ada empat macam bukan dua sebagaimana dalam pemikiran di Barat. Keempat macam ilmu itu adalah ilmu Empirik (‘Ain al-yaqin), Ilmu Rasional (‘Ilmu al-yaqin), Suprarasional (Haqq al-yaqin) dan Metarasional (‘ilmu al-Ghaib). Dalam terminologi lain, Ilmu Empirik dan ilmu Rasional dikatagorikan Ilmu Bayány. Ilmu Suprarasional merupakan ilmu Burhány, sedangkan Metarasional disebut ilmu ‘Irfány.
Di luar yang empat itu ada yang disebut irrasional, yakni manakala kejadian tersebut sangat mustahil menurut akal, misalnya dikatakan bahwa benda itu diam dan pada saat yang sama benda itu bergerak. Ini irrasional. Termasuk ke dalam irrasional adalah tahayyul. Irrasional bukanlah ilmu tetapi tahayyul (hayalan) atau kepercayaan tak berdasar.
 Tercatat
________________________________________
prince_darkness
•    Pengunjung

Re: AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM PERTAMA DAN UTAMA
« Jawab #7 pada: Februari 11, 2007, 04:24:41 pm »
Di dalam ajaran Islam, banyak sekali perintah dan larangan nabi yang seakan tidak masuk akal sehingga beberapa ulama melakukan rasionalisasi melalui penafsiran metaforis.
Lantas apakah sesuatu yang tidak dimengerti harus ditaati juga? Sebenarnya manusia banyak melakukan perbuatan bukan karena mengerti tetapi karena percaya. Sebagai contoh, seorang professor doktor di bidang agama akan tetap menggunakan resep dari dokter walaupun tulisan pada resep itu tidak dapat dibaca dengan matanya dan tidak dapat difahami dengan otaknya. Ia menaati resep dokter bukan karena mengerti tetapi karena percaya. Begitupun dengan Al-Qur’an yang berfungsi sebagai resep, obat (syifá), maka kalau sementara ini akal belum mampu menerima apa yang dikandung oleh Al-Qur’an, sebaiknya diterima saja dahulu, nanti di saat kemudian, apa-apa yang dianggap tidak rasional sangat mungkin menjadi rasional juga. Jadi pada dasarnya baik suprarasional maupun metarasional seluruhnya masih dalam koridor rasional.
Apakah tafsir Al-Qur’an yang dilakukan oleh NII KW IX termasuk kepada tafsir bi ar-Ra’yi yang diancam neraka?. 
Untuk mengetahuinya sangat perlu terlebih dahulu memahami kriteria  tafsir bi ar-Ra’yi  yang diperbolehkan.
Menurut Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiji di dalam buku : “At-Tafsâr fâ Qawá‘id ‘ilmi at-Tafsâr”, dijelaskan bahwa para sahabat biasa menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu, hal ini dilakukan apabila mereka tidak menemukan tafsirnya dalam hadis mutawátir, juga tidak terdapat dalam Ijma‘ ulama”.    Adapun  tafsâr bi ar-Ra’yi yang dilarang adalah min gair ‘ilm (tanpa imu)  tetapi sekadar mengikuti selera. Tafsir ra’yu tidak boleh kalau  meninggalkan pemahaman yang sudah biasa difahami dari  lafaÑ-lafaÑ Al-Qur’an    .
Apabila mencermati tafsir Al-Qur’an yang dilakukan oleh NII KW IX, maka segera dapat diketahui bahwa penafsiran mereka tanpa mengikuti kaidah-kaidah baku penafsiran yang telah disepakati oleh para ulama, terutama ulama Salaf. Berdasarkan kriteria tafsir bi ar-ra’yi  di atas, maka tafsâr bi ar-ra’yi NII KW IX secara akademis tidak dapat diterima. 
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Fuad Aly El-Manshury - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger