Home » » Pernikahan/Perkawinan dalam Islam

Pernikahan/Perkawinan dalam Islam

Written By Agus Prasetyo on Senin, 28 Mei 2012 | 22.18


BAB I
PENDAHULUAN
Perjanjian perkawinan adalah persetujuan yang dibuat oleh calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pencatat nikah. perjanjian nikah tersebut mempunyai syarat dan hukum.
Muatan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an, karena perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum al-Qur’an, meskipun seratus syarat, hukumnya batal. Demikian juga perjanjian yang tidak bertujuan menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Dalam perkawinan dikenal adanya perjanjian perkawinan yang sering kali dibacakan oleh calon suami setelah akad nikah, yakni adanya perjanjian ta’lik talak. Perjanjian lainnya yang sering dilakukan adalah perjanjian tentang harta bersama.
Menurut hukum Islam pergaulan antara laki-laki dan perempuan melakukan pergaulan suami istri sebelum nikah itu tidak dibolehkan, kecuali sesudah melakukan akad nikah, ijab dan kabul. Sebab itu semata-mata perjanjian perkawinan antara laki-laki dan perempuan atau pertunangan antara pemuda dan pemudi, belum membolehkan bergaulan antara keduanya sebagai suami istri seperti tinggal satu kamar.
Hanya pergaulan itu dapat dilakukan sesudah akad nikah, ijab dan kabul. Meskipun belum mengadakan pesta perkawinan, karena pesta perkawinan hanya sunat semata-mata, bukan jadi syarat untuk sahnya perkawinan.
Adapun pergaulan bebas dikalangan remaja, saat ini mencampakan pandangan tentang zina. Akibatnya banyak wanita yang hamil diluar nikah. Tentu keadaan ini tidak dibiarkan begitu saja, bagi orang yang tidak bertanggung jawab akan mengambil jalan mengaborsinya, sedangkan orang yang bertanggung jawab dia akan menikahi wanita tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
PERJANJIAN PERKAWINAN
1. Pengertian, Syarat, dan Hukum Perjanjian Perkawinan.
Perjanjian perkawinan yaitu “persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah.
Perjanjian perkawinan (mithaq az-zauziyyah) dalam at-tanjil al-hakim terdapat dalam firman Allah SWT:
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian telah bergaul dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”(QS. An-nisa [4]: 20-21).
Dalam ayat diatas nampak, bahwa dalam perkawinan terdapat sebuah perjanjian yang kuat yang diambil oleh para isteri dari para suami mereka. Muatan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an, karena perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum al-Qur’an, meskipun seratus syarat, hukumnya batal. Demikian juga perjanjian yang tidak bertujuan menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Perjanjian perkawinan mempunyai syarat, yakni perjanjian yang dibuat itu tidak bertentangan dengan syari’at islam atau hakikat perkawinan. “Jika syarat perjanjian yang dibuat bertentangan dengan syari’at islam atau hakikat perkawinan apapun bentuk perjanjian itu maka perjanjian itu tidak sah, tidak perlu diikuti, sedangkan akad nikahnya sendiri sah”. Jadi, jika syarat perjanjian perkawinan yang dibuat tidak bertentangn dengan syari’at islam atau hakikat perkawinan, maka hukumnya boleh (sah), tetapi jika syarat itu bertentangan dengan syari’at islam atau hakikat perkawinan maka hukum perjanjian itu tidak boleh (tidak sah).
Contoh syarat yang tidak sesuai dengan syari’at islam, misalnya, dalam perkawinan itu si istri tidak akan kawin lagi. Perkawianan itu sendiri sah, tetapi syaratnya tidak sah. Berdasarkan sabda Nabi SAW yang artinya :“Segala syarat yang tidak terdapat dalam Kitabullah adalah batal, sekalipun 100 kali syarat”. Sabdanya lagi dengan artinya :
“Orang-orang islam itu menurut syarat mereka, kecuali apabila berupa syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.”
Tentang perjanjian ini, Kholil Rahman menyebutkan macam-macam sifat perjanjian :
a. Syarat-syarat yang menguntungkan istri, seperti syarat untuk tidak dimadu. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang mengatakan sah, dan ada yang mengatakan tidak sah. Sayid Sabiq misalnya, membolehkan si istri menuntut fasakh apabila suami melanggar perjanjian tersebut.
b. Syarat-syarat yang bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh maksud akad itu sendiri. Seperti, tidak boleh mengadakan hubungan kelamin, tidak ada hak waris-mewarisi di antara suami dan istri, tidak boleh berkunjung kepada kedua orang tua, dan lain-lain. Syarat-syarat semacam ini tidak sah, dan tidak mengikat.
c. Syarat-syarat yang bertentangan dengan ketentuan syara’ seperti jika akad nikah sudah dilangsungkan, agar masing-masing pindah agam, harus mau makan daging babi, dan sebagainya. Perjanjian semacam ini tidak sah, dan bahkan akad nikahnya juga tidak sah.
2. Bentuk-Bentuk Perjanjian Perkawinan
Bentuk-bentuk perjanjian perkawinan adalah:
1. Ta’lik talak.
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam.
3. Hukum Perjanjian Perkawinan
Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan diatur masalah perjanjian perkawinan dalam pasal 29. Bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawina. Setelah masa isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
3. Perjnajian tersebuat brlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugika pihak ketiga.
Penjelasan pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak. Namun dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 pasal 11 menyebutkan satu aturan yang bertolak belakang.
1. Calon suami isteri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum islam.
2. Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani suami setelah akad nikah dilangsungkan.
3. Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama.
Yang menarik adalah kompilasi menggaris bawahi pasal 11 Peraturan Menteri Agama tersebut. Kompilasi sendiri memuat 8 pasal tentang perjanjian perkawinan yaitu pasal 45 sampai dengan pasal 52.
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:
1. Taklik talak, dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hokum islam.
Jadi praktis perjanjian perkawinan seperti dijelaskan dalam penjelasan pasal 29 Undang-undang No. 1 tahun 1974, telah diubah atau setidaknya diterapkan bahwa taklik talak termasuk salah satu macam perjanjian perkawinan, dalam kompilasi dan detail-detailnya dikemukakan.
Pasal 46 kompilasi lebih jauh mengatur:
1. Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum islam.
2. Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul terjadi kemudian tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengjukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
3. Perjanjian taklik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali talak talik sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Ayat 3 diatas sepintas bertentangan dengan pasal 29 Undang-undang perkawinan ayat 4 yang mengatur bahwa selama perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan kedua belah pihak, dan tidak merugikan pihak ketiga. Dari sinilah maka dalam penjelasannya disebutkan tidak termasuk talik talak. Karena naskah yang sudah ditandatangani suami. Oleh karena itu pula, perjanjian talik talak sekali sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Karena itu sebslum akad nikah dilakakukan Pegawai Pencatat perlu meneliti betul perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua calon mempelai, baik secara material atau isi perjanjian itu, maupun teknis bagai mana perjanjian itu telah disepakati oleh mereka bersama. Sejauh perjanjian itu berupa taklik talak. Menteri agama telah mengaturnya. Adapun teks.
(sighat) taklik talak yang diucapkan suami sesudah dilangsungkan akad nikah adalah sebagai berikut:
Sesudah akad nikah, saya…..bin….berjanji dengan sesunguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorng suami, dan saya akan pergauli istri saya bernama….binti….dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajarn syari’at Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat tklik talak atas isteri saya itu seperti berkut:
Sewaktu-waktu saya:
1. meninggalkan isteri saya tersebut dua tahun berturut-turut,
2. atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
3. atau saya mengikuti badan/jasmani isteri saya itu,
4. atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya itu enam bulan lamanya.
Kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduan dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan isteri saya itu membayar uang sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian memberikanya untuk ibadah sosial.
Demikian juga menjadi tugas Pengadilan Agama ketika menerima gugatan perceraian dari pihak isteri dengan alasan pelanggaran perjanjian dalam taklik talak atau tidak, haruslah benar-benar meneliti apakah si suami menyetujui dan mengusapkan sighat taklik talak atau tidak. Secara yuridis formal, persetujuan dan pembacaan sighat taklik talak dapat dilihat pada Akta Nikahnya, meski atau belum sepenuhnya dapat dijamin kebenarannya.apabila si suami menandatangani di bawah sight taklik talak, ia dianggap menyatujui dan membaca sight tersebut, kecuali ada keterangan lain.
Memperhatikan muatan sighat taklik talak tersebut, kandungan maksudnya cukup baik dan positif, yaitu melindungi peremuan dari kewenang-wenangan suami dalam memenuhi kewajibannya, sebagai hak-hak yang seharusnya diterima si isteri, meskipun sesungguhnya isteri, telah mendapatkan berupa khulu’ (gugat cerai) maupun hak fasakh. Karena itu sekali lagi, yang perlu diperhatikan adalah pencatatan apakah suami benar-benar menyetujui dan membaca dan menandatangani sighat taklik talak tersebut atau tidak. Ini dimaksudkan agar terjadi keliruan dan kesulitan dalam menyelesaikan persoalan yang timbul.
Persoalan harta benda merupakan pokok pangkal yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan dan ketegangan rumah tangga atau malahan menghilangkan kerukunan di dalamnya, maka undang-undang Perkawinan memberi peluang ataupun petunjuk mengenai perbuatan perjanjian untk pengaturan hak atas harta benda bersama antara suami dan istri, tercantum dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37. isi ketentuan dari pasal-pasal ini ada kaitan atau pengaruh dari prinsip mengenai kecakapan wanita yang telah nikah yang dianut oleh kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Hanya saja terdapat perbedaan yang bertolak belakang antara kedua sumber hukum itu dan untuk lebih jelasnya bias dibandingkan dua pasal berikut ini. Pasal 119 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berbunyi :
Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri.
Sedangkan pasal 35 Undang-undang Perkawinan berbunyi :
Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjamg tidak menentukan lain.
Jadi bertolak belakang yang tampak dari dua pasal tersebut mengenai keadaan bila akad nikah tidak diikuti dengan perjanjian harta benda bersama, yakni pasal awal dikutip menentukan harta di bawah penguasaan bulat dalam satu kesatuan demi hukum, sedangkan pasal berikutnya harta benda tetap di bawah penguasaan masing-masing.
Kompilasi yang mengatur perjajian harta bersama dan perjanjian yang berkaitan dengan masalah poligami :
Pasal 47
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
2. Perjanjan tersebut pada ayat (1) dapat meliputi pencampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencarian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
3. Disamping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) diatas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotek atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
2. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kewajiban rumah tangga.
3. Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi kebutuhan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harkat syarikat dengan kewajiban suami menanggung kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
1. Perjanjian pencampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa pencmpuran harta pribadi hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga pecampuran itu tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
1. Perjanjian perkawinan mengenai harta mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.
2. Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah meningkat kepada suami istri, tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru meningkat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh suami isri dalam suatu surat kabar setempat.
3. Apabila dalm tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan bersangkutan, pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat pada pihak ketiga.
4. Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51
Pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan memberikan hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga atau keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi istri yang akan dinikahinya itu.
Akan halnya mengenai perjanjian perkawinan, apabila telah disepakati oleh kedua mempelai, maka masing-masing wajib memenuhinya.
Sepanjang dalam perjanjian tersebut tidak ada pihak-pihak lain yang memaksa. Ini sejalan dengan hadist riwayat al-Bukhori yang artinya :
“Barangsiapa mensyaratkan pada dirinya sendiri untuk maksud taat (kepada Allah dan Rosul-Nya), dalam keadaan tidak terpaksa, maka ia wajib memenuhinya” (Riwayat al-Bukhori)
Kata Umar bin al-Khattab : “Sesunguhnya keputusan hak terletak pada syarat-syarat yang ditetapkan, dan pada kamu apa yang kamu syaratkan” (Riwayat al-Bukhori).
Apabila perjanjian yang telah disepakati bersama antara suami dan istri, tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka pihak lain berhak mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya.
Dalam hal pelanggaran dilakukan suami misalnya, istri berhak meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan perceraian dalam gugatan. Demikian juga sebaliknya, jika istri yang melanggar perjanjian di luar taklik talak, suami berhak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.
BAB III
PENUTUP
Perjanjian perkawinan adalah persetujuan yang dibuat oleh calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pencatat nikah. perjanjian nikah tersebut mempunyai syarat dan hukum. Bentuk perjanjian ada dua yaitu Ta’lik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Hukum mengenai perjanjian di tulis dalam kompilasi hukum islam .
DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995.
2. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2003, cet. ke-2.
3. Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995, cet ke-1
4. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama RI Deriktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 1997/1998.
5. Muhammad Shahrur, Metodologi Fikih Kontemporer, Yogyakarta : Eisaq Press, 2004.
6. Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta : Kencana Media Group, 2003), hlm. 119
7. Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Eisaq Press, 2004), hlm. 438
8. Ahmad Rofiq, Hukum islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 160




Makalah Munakahat – Makalah Perkawinan – Makalah Pernikahan
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam usaha meleburkan suatu bentuk hukum dalam dunia hukum Islam Indonesia. Tentunya kita ingin mengetahui lebih dalam darimana asal konsep hukum yang diadopsi oleh Departemen Agama RI tersebut yang kemudian menjadi produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dan diantara materi bahasannya adalah rukun dan syarat perkawinan yang akan coba kita pelajari perbandingannya dengan fikih munakahat.
Terpenuhinya syarat dan rukun suatu perkawinan, mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut hukum agama/fiqih munakahat atau pemerintah (Kompilasi Hukum Islam).Bila salah satu syarat atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fikih munakahat atau Kompilasi Hukum Islam, menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan salah satunya.
Berawal dari garis perbandingan antara kedua produk hukum tersebut, pemakalah mencoba membahas perbandingan antara keduanya sehingga dapat diketahui lebih dalam hubungan antara keduanya.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Nikah
secara bahasa : kumpulan, bersetubuh, akad.
secara syar’i : dihalalkannya seorang lelaki dan untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan hubungan seksual, dll .
Hukum Nikah
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi pelakunya :
Ø Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
Ø Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
Ø Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang mengharamkan menikah.
Ø Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya.
Ø Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.
A. TUJUAN DAN HIKMAH NIKAH
Tujuan Nikah ditinjau dari:
TUJUAN FISIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang memadai.
3. Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.
TUJUAN PSIKOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman.
3. Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan jiwanya.
4. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.
TUJUAN SOSIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Lingkungan pertama dan terbaik bagi segenap anggota keluarga.
2. Unit sosial terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.
TUJUAN DA’WAH
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Menjadi obyek wajib da’wah pertama bagi sang da’i.
2. Menjadi prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat muslim dan nonmuslim.
3. Setiap anggota keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam da’wah.
4. Memberi antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan
Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi pelaksananya :
1. Sarana pemenuh kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum : 21)
2. Sarana menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3. Sarana menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl : 72)
Rasulullah berkata : “Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak. Sesungguhnya saya akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi)
4. Sarana untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum)
B. PEMINANGAN (KHITBAH) SEBELUM PELAKSANAAN PERNIKAHAN
Definisi Peminangan
Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat dalam pendefinisian peminangan. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pinangan (khitbah¬) adalah pernyataan seorang lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya, baik langsung kepada perempuan tersebut maupun kepada walinya. Penyampaian maksud ini boleh secara langsung ataupun dengan perwakilan wali.
Adapun Sayyid Sabiq, dengan ringkas mendefinisikan pinangan (khitbah) sebagai permintaan untuk mengadakan pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan ini merupakan syariat Allah SWT yang harus dilakukan sebelum mengadakan pernikahan agar kedua calon pengantin saling mengetahui.
Amir Syarifuddin mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.
Al-hamdani berpendapat bahwa pinangan artinya permintaan seseorang laki-laki kepada anak perempuan orang lain atau seseorang perempuan yang ada di bawah perwalian seseorang untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pinangan (khitbah) adalah proses permintaan atau pernyataan untuk mengadakan pernikahan yang dilakukan oleh dua orang, lelaki dan perempuan, baik secara langsung ataupun dengan perwalian. Pinangan (khitbah) ini dilakukan sebelum acara pernikahan dilangsungkan.
Dasar dan Hukum Pinangan
Dari Mughirah R.A., sesungguhnya ia pernah meminang seseorang perempuan, lalu Nabi SAW. Bersabda kepadanya,” Lihatlah perempuan itu dahulu karena sesungguhnya melihat itu lebih cepat membawa kekekalan kecintaan antara keduanya.” (H.R. Nasa’i dan Tirmizi).
Dari Abu Hurairah R.A., dia berkata,” Aku duduk di dekat Nabi SAW. lalu datang seorang laki-laki kepada beliau dan bercerita bahwa ia akan menikahi seseorang perempuan dari kaum Anshar. Rasulullah lalu bersabda,”Sudahkah engkau lihat wajahnya?” laki-laki itu menjawab, “belum”. Rasulullah bersabda lagi,” pergi dan lihatlah karena sesungguhnya pada wajah kaum Anshar itu mungkin ada sesuatu yang menjadi cacat.” (H.R. Muslim dan Nasa’i).
Memang terdapat dalam al-qur’an dan dalam banyak hadis Nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaiman perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam al-qur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumannya mubah.
Akan tetapi, Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada hadis-hadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi yang dilakukan nabi dalam peminangan itu.
Hikmah Peminangan
Ada beberapa hikmah dari prosesi peminangan, diantaranya:
Wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini, mereka akan saling mengetahui tata etika calon pasangannya masing-masing, kecendrungan bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan sekitar yang mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor syariah. Hal demikian diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima dengan ketentraman, ketenangan, dan keserasian serta cinta sehingga timbul sikap saling menjaga, merawat dan melindungi.
Sebagai penguat ikatan perkawinan ynag diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. Bahwa Nabi SAW berkata kepada seseorang yang telah meminang perempuan:” melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan.
Macam-Macam Peminangan
Ada beberapa macam peminangan, diantaranya sebagai berikut:
1. Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya berkeinginan untuk menikahimu.”
2. Secara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak sepertimu.”
Perempuan yang belum kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan langsung aau terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran atau tidak langsung. Akan tetapi bagi wanita yang masih punya suami, meskipun dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dikawini, tidak boleh meminangnya dengan menggunakan bahasa terus terang tadi.
Hal-Hal yang Berkaitan dengan Peminangan.
1. Norma Kedua Calon Pengantin Setelah Peminangan.
Peminangan (khitbah) adalah proses yang mendahului pernikahan akan tetapi bukan termasuk dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan tidak akan sempurna tanpa proses ini, karena peminangan (khitbah) ini akan membuat kedua calon pengantin akan menjadi tenang akibat telah saling mengetahui.
Oleh karena itu, walaupun telah terlaksana proses peminangan, norma-norma pergaulan antara calon suami dan calon istri masih tetap sebagaimana biasa. Tidak boleh memperlihatkan hal-hal yang dilarang untuk diperlihatkan.
2. Peminangan Terhadap Seseorang yang Telah Dipinang.
Seluruh ulama bersepakat bahwa peminangan seseorang terhadap seseorang yang telah dipinang adalah haram. Ijma para ulama mengatakan bahwa peminangan kedua, yang datang setelah pinangan yang pertama, tidak diperbolehkan. Hal tersebut terjadi apabila:
* Perempuan itu senang kepada laki-laki yang meminang dan menyetujui pinangan itu secara jelas (Sharahah) atau memberikan izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.
* Pinangan kedua datang tidak dengan izin pinangan pertama.
* Peminang pertama belum membatalkan pinangan.
Hal ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi,” Janganlah kalian membeli sesuatu pembelian saudara kalian, dan janganlah kalian meminang pinangan saudara kalian, kecuali dengan izinnya.”
Seluruh imam bersepakat bahwa hadis diatas berlaku bagi pinangan yang telah sempurna. Hal tersebut terjadi agar tidak ada yang merasa sakit hati satu sama lain.
Adapun mengenai pinangan yang belum sempurna, dengan pengertian masih menunggu jawaban, beberapa ulama berbeda pendapat. Hanafiah mengatakan, pinangan terhadap seseorang yang sedang bingung dalam menentukan keputusan adalah makruh. Hal ini bertentangan dengan pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa sesungguhnya perbuatan itu tidak haram. Pendapat ini berdasarkan peristiwa Fatimah binti Qois yang dilamar oleh tiga orang sekaligus, yaitu Mu’awiyah, Abu Jahim bin Huzafah dan Usamah bin Zaid. Hal itu terjadi setelah selesainya masa iddah Fatimah yang telah ditalak oleh Abu Umar bin Hafsin.
Walaupun demikian, pendapat Hanafi lebih kuat landasannya karena sesuai dengan tata perilaku islam yang mengajarkan solidaritas. Peminangan yang dilakukan terhadap seseorang yang sedang bingung dalam mempertimbangkan keputusan lebih berdampak pada pemutusan silaturrahim terhadap peminang pertama dan akan mengganggu psikologis yang dipinang.
3. Orang-Orang yang Boleh Dipinang.
Pada dasarnya, seluruh orang yang boleh dinikahi merekalah yang boleh dipinang. Sebaliknya, mereka yang tidak boleh untuk dinikahi, tidak boleh pula untuk dipinang. Dalam hal ini, ada syarat agar pinangan diperbolehkan.
* Bukan Orang-Orang yang Dilarang Menikahinya.
* Bukan Orang-Orang yang Telah Dipinang Orang Lain.
* Tidak Dalam Masa ‘Iddah
3. Batas-Batas yang Boleh Dilihat Ketika Khitbah
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi empat bagian:
* Hanya muka dan telapak tangan. Banyak ulama fiqih yang berpendapat demikian. Pendapat ini berdasarkan bahwa muka adalah pancaran kecantikan atau ketampanan seseorang dan telapak tangan ada kesuburan badannya.
* Muka, telapak tangan dan kaki. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.
* Wajah, leher, tangan, kaki, kepala dan betis. Pendapat ini dikedepankan para pengikut Hambali.
* Bagian-bagian yang berdaging. Pendapat ini menurut al-Auza’i.
* Keseluruh badan. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini berdasarkan ketidakadaan hadis nabi yang menjelaskan batas-batas melihat ketika meminang.
4. Waktu dan Syarat Melihat Pinangan
Imam Syafi’i berpendapat bahwa seorang calon pengantin, terutama laki-laki, dianjurkan untuk melihat calon istrinya sebelum pernikahan berlangsung. Dengan syarat bahwa perempuan itu tidak mengetahuinya. Hal itu agar kehormatan perempuan tersebut terjaga. Baik dengan izin atau tidak.
Imam Maliki dan Imam Hambali mengatakan bahwa melihat pinangan adalah disaat kebutuhan mendesak. Itu disebabkan agar tidak menimbulkan fitnah dan menimbulkan syahwat.
Wahbah Zuhaili mengatakan, pada dasarnya melihat pinangan itu diperbolehkan asalkan tidak dengan syahwat.
C. PELAKSANAAN PERNIKAHAN (AKAD NIKAH)
PENGERTIAN AKAD NIKAH
secara bahasa : akad = membuat simpul, perjajian, kesepakatan; akad nikah = mengawinkan wanita.
secara syar’i : Ikrar seorang pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat perantara walinya, dengan tujuan
a) hidup bersama membina rumah tangga sesuai sunnah Rasulullah saw.
b) memperoleh ketenangan jiwa.
c) menyalurkan syahwat dengan cara yang halal
d) melahirkan keturunan yang sah dan shalih.
RUKUN DAN SYARAT SAH NIKAH
Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini :
1. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul adalah :
a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah :
a) Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Mumtahanah : 9.
b) Bukan mahrom dari calon isteri.
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
3. Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai wanita adalah :
a) Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
b) Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom dari calon suami).
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
4. Adanya wali.
Syarat wali adalah :
a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Tidak dipaksa.
d) Tidaksedang melaksanakan ibadah haji.
Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai berikut:
a) Ayah
b) Kakek
c) Saudara laki-laki sekandung
d) Saudara laki-laki seayah
e) Anak laki-laki dari saudara laki – laki sekandung
f) Anak laki-laki dari saudara laki – laki seayah
g) Paman sekandung
h) Paman seayah
i) Anak laki-laki dari paman sekandung
j) Anak laki-laki dari paman seayah.
k) Hakim
5. Adanya saksi (2 orang pria).
Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah
a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Dapat mendengar dan melihat.
d) Tidak dipaksa.
e) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
6. Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar :
a) Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat QS. An Nisaa’ : 4.
b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik mertua.
c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan pernah pula
DAFTAR PUSTAKA
Dewantoro Sulaiman, SE, Agenda Pengantin, Hidayatul Insan, Solo, 2002
Rasjid, Sulaiman, H., Fikh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1996
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta. 2007
Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002


Usia Perkawinan
  Istilah dan batasan nikah muda (nikah di bawah umur) dalam kalangan pakar hukum Islam sebenarnya masih simpang-siur yang pada akhirnya menghasilkan pendapat yang berbeda. Maksud nikah muda menurut pendapat mayoritas, yaitu, orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi (haid) bagi perempuan.

  Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit, syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah, persis seperti harus pahamnya apa itu salat bagi orang yang melakukan ibadah salat, haji bagi yang berhaji, transaksi dagang bagi pebisnis.

  Tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama.

Dorongan adanya kesetaraan
   Dalam fikih, ada yang disebut kafa’ah (baca kesetaraan). Kafa’ah di sini bukan berarti agama Islam mengakui adanya perbedaan (kasta) dalam masyarakat. Kafa’ah bukan pula suatu keharusan dan sama sekali bukan menjadi syarat dalam akad ikatan perkawinan, namun pertimbangan kafa’ah hanya sebagai anjuran dan dorongan agar perkawinan berjalan dengan keserasian dan saling pengertian antara kedua belah pihak dus demi langgengnya bahtera rumah tangga. Di antaranya, kesetaraan dalam hal ketakwaan, sebaiknya orang yang sangat takwa dan sangat rajin menjalankan ibadah agama, tidak dianjurkan bahkan tidak dibolehkan untuk dinikahkan dengan seorang yang rusak agamanya (sama sekali tidak memikirkan agama).

  Juga seorang perempuan intelektual tidak dianjurkan dan tidak cocok nikah dengan suami yang bodoh. Juga masalah umur, tidaklah setara (imbang) antara laki-laki yang berumur 50 tahun dengan gadis berusia 13 tahun (apalagi lebih muda dari umur itu). Ketidaksetaraan seperti ini serta perbedaan yang mencolok antara kedua belah pihak tidak didukung syariat karena dikhawatirkan akan kuatnya timbul benturan-benturan antara kedua belah pihak dikarenakan perbedaan yang sangat mencolok tersebut.

  Sedangkan kesetaraan dan persamaan dalam masalah keturunan, ras, kaya-miskin tidaklah menjadi masalah dalam Islam, karena Islam tidak memandang keturunan, suku bangsa serta miskin dan kaya. Miskin bukan merupakan cela (keaiban) dalam pandangan agama, yang cela hanyalah kekayaan yang didapat dari usaha ilegal dan kemiskinan akibat kemalasan.

Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah
   Ada yang berdalih bahwa kawin muda merupakan tuntunan Nabi yang patut ditiru. Pendapat ini sama sekali tidak benar karena Nabi tidak permah mendorong dan menganjurkan untuk melakukan pernikahan di bawah umur. Akad pernikahan antara Rasul dengan Sayidah Aisyah yang kala itu baru berusia sekitar 10 tahun tidak bisa dijadikan sandaran dan dasar pegangan usia perkawinan dengan alasan sebagai berikut: Pertama: perkawinan itu merupakan perintah Allah sebagaimana sabda Rasul, ”Saya diperlihatkan wajahmu (Sayidah Aisyah) dalam mimpi sebanyak dua kali, Malaikat membawamu dengan kain sutera nan indah dan mengatakan bahwa ini adalah istrimu”. (HR Bukhari dan Muslim); Kedua: Rasul sendiri sebenarnya tidak berniat berumah tangga kalaulah bukan karena desakan para sahabat lain yang diwakili Sayidah Khawlah binti Hakim yang masih merupakan kerabat Rasul, di mana mereka melihat betapa Rasul setelah wafatnya Sayidah Khadijah, istri tercintanya sangat membutuhkan pendamping dalam mengemban dakwah Islam; Ketiga: Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah mempunyai hikmah penting dalam dakwah dan pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukunya dalam berbagai aspek kehidupan khususnya yang berkaitan dengan masalah keperempuanan yang banyak para kaum perempuan bertanya kepada Nabi melalui Sayidah Aisyah.

   Dikarenakan kecakapan dan kecerdasan Sayidah Aisyah sehingga ia menjadi gudang dan sumber ilmu pengetahuan sepanjang zaman; Kelima: masyarakat Islam (Hejaz) saat itu sudah terbiasa dengan masalah nikah muda dan sudah biasa menerima hal tersebut. Walaupun terdapat nikah muda, namun secara fisik maupun psikis telah siap sehingga tidak timbul adanya asumsi buruk dan negatif dalam masyarakat. Kita tidak memperpanjang masalah perkawinan ideal dan indah antara Rasul dengan Sayidah Aisyah, jadikanlah itu sebagai suatu pengecualian (kekhususan) yang mempunyai hikmah penting dalam sejarah agama.

   Islam dalam prinsipnya tidak melarang secara terang-terangan tentang pernikahan muda usia, namun Islam juga tak pernah mendorong atau mendukung perkawinan usia muda (di bawah umur) tersebut, apa lagi dilaksanakan dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensi-dimensi mental, hak-hak anak, psikis dan pisik terutama pihak perempuannya, dan juga kebiasaan dalam masyarakat, dengan dalih bahwa Islam sendiri tidak melarang.

   Agama sebaiknya tidak dipandang dengan kasatmata, namun lebih jauh lagi agama menekankan maksud dan inti dari setiap ajarannya dan tuntunannya, dalam masalah perkawinan ini, Islam mendorong hal-hal agar lebih menjamin kepada suksesnya sebuah perkawinan. Yang diminta adalah kematangan kedua pihak dalam menempuh kehidupan berkeluarga sehingga tercipta hubungan saling memberi dan menerima, berbagi rasa, saling curhat dan menasihati antara suami-istri dalam mangarungi bahtera rumah tangga dan meningkatkan ketakwaan.

Usia perkawinan menurut Undang-Undang
   Bab II pasal 7 ayat satu menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Juga tentang Usia Perkawinan Dalam Bab IV Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 menyebutkan bahwa demi untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya beleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

   Dalam UU perkawinan di sejumlah negara Arab hampir sama dengan UU Indonesia Seperti di Suriah, yang menjelaskan batas usia pernikahan untuk pria adalah jika telah mencapai 18 tahun dan untuk perempuannya jika sudah berusia 16 tahun (UU Perkawinan Suriah, pasal 16).

   Menurut hemat penulis apa yang telah dibuat UU hendaknya mendapat dukungan dari semua pihak, khususnya para dai serta hendaknya dapat menjadi contoh baik dengan mengedepankan hal-hal yang telah menjadi standar dalam syariat dan bukan mencari hal-hal kontroversi yang menjadikan orang-orang menjadi bertanya-tanya bahkan yang lebih parah lagi meragukan kebenaran syariat. Pepatah (kata mutiara) Arab mengatakan “Semoga kerahmatan senantiasa tercurahkan bagi orang berusaha menghindarkan dirinya dari hal-hal yang menjadi cemoohan dalam masyarakat.” Penulis sama sekali tidak mengklaim batal atau tidak sahnya perkawinan usia muda, melainkian hanya menekankankan bahwa Islam tidak mendorong hal tersebut dengan berbagai alasan yang telah dikemukakan di atas.
Share this article :

1 komentar:

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Fuad Aly El-Manshury - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger